Kembalinya warga pengungsi ke Aleppo yang diharapkan membawa harapan baru ternyata justru menimbulkan luka lama. Sebuah video yang beredar memperlihatkan bagaimana banyak dari mereka mendapati rumah dan properti yang seharusnya menjadi milik mereka telah disita atau dijual kepada pihak lain.
Seorang pria yang kembali ke kampung halamannya menceritakan pengalaman pahit saat menemukan rumahnya sudah berpindah tangan. Ia menuduh rumah itu dijual oleh kelompok "shabiha", milisi pro-Bashar Al Assad yang selama bertahun-tahun dikenal melakukan praktik penjarahan dan perampasan.
Meski ia mengaku telah mengajukan klaim ke Komite Pemulihan Real Estat di bawah Pemerintahan Ahmed Al Sharaa dan bahkan mendapat persetujuan dari gubernur untuk pengembalian rumah, kenyataan di lapangan jauh berbeda. Sudah empat bulan sejak keputusan penggusuran keluar, namun rumah itu belum juga dikembalikan.
Kisah serupa dialami oleh warga lain. Ia menjelaskan bahwa rumahnya dijual kepada seorang pejabat senior yang berafiliasi dengan kelompok shabiha. Bagi banyak warga, perlawanan hukum menjadi sia-sia karena pembeli rumah mereka memiliki posisi kuat dalam struktur pemerintahan yang baru setelah mendapat amnesti.
Video tersebut memperlihatkan potongan gambar warga yang sibuk meneliti dokumen kepemilikan di ponsel mereka. Sebagian mencoba mencari celah untuk menuntut hak kembali, sementara yang lain tampak pasrah dengan keadaan yang sulit mereka lawan.
Tulisan di layar video mempertegas narasi bahwa warga Aleppo yang kembali justru kehilangan rumah sendiri dan terpaksa tinggal di rumah kontrakan. Situasi ini menambah beban keuangan mereka yang sebelumnya sudah terhimpit akibat perang panjang.
Banyak keluarga kini terpaksa hidup dalam kondisi serba terbatas. Rumah kontrakan yang mereka tempati tidak jarang berada di lingkungan kumuh, jauh dari standar kehidupan layak, dan dengan biaya sewa yang menguras sisa tabungan.
Sementara itu, Komite Pemulihan Real Estat yang dibentuk untuk menangani masalah ini disebut sering kali tidak efektif. Warga mengeluhkan bahwa meski sudah menyerahkan dokumen resmi, keputusan pengembalian rumah jarang benar-benar dilaksanakan.
Proses hukum pun dianggap tumpul. Meski ada surat perintah resmi dari gubernur, aparat di lapangan sering kali enggan mengeksekusi penggusuran jika rumah sudah ditempati tokoh berpengaruh atau kelompok milisi.
Kondisi ini menimbulkan frustrasi di kalangan warga yang merasa terjebak antara aturan formal dan kenyataan yang dikendalikan oleh kekuatan bersenjata. Mereka yang seharusnya kembali membangun kehidupan justru dihadapkan pada realitas kehilangan identitas dan akar sejarah keluarga.
Sebagian warga yang berani bersuara mengaku mendapat tekanan. Mereka khawatir jika terus menuntut, bukan hanya rumah yang hilang, tetapi juga keselamatan pribadi dan keluarga bisa terancam.
Akibatnya, banyak warga memilih diam dan mencari jalan bertahan hidup. Sewa rumah menjadi pilihan terpaksa meski mereka sadar tempat itu bukan milik mereka sendiri.
Di tengah keterpurukan ini, solidaritas antarwarga muncul. Sebagian keluarga berbagi ruang dengan kerabat atau teman yang bernasib sama. Namun, hal itu tetap tidak mampu menutup luka akibat kehilangan hak atas rumah sendiri.
Kondisi Aleppo yang sebagian besar hancur membuat ketersediaan rumah layak semakin terbatas. Rumah yang masih berdiri utuh justru menjadi rebutan dan kerap menjadi target perampasan.
Para pengungsi yang kembali kini menghadapi dilema ganda. Di satu sisi mereka ingin menata kembali kehidupan di kampung halaman, tetapi di sisi lain mereka justru diusir dari rumah yang sah secara hukum mereka miliki.
Bagi sebagian keluarga, rumah bukan sekadar bangunan fisik, melainkan juga simbol kenangan dan warisan keluarga. Kehilangan rumah berarti kehilangan sejarah yang sudah mereka bangun selama puluhan tahun.
Fenomena ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem hukum dan perlindungan hak sipil di Suriah pascaperang. Masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban dari perkembangan kondisi yang ada.
Situasi tersebut juga menimbulkan tanda tanya besar mengenai upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi Suriah. Jika warga yang kembali saja kehilangan rumah, bagaimana mungkin kepercayaan publik bisa pulih?
Video ini menjadi bukti nyata bahwa pemulihan Suriah bukan hanya soal pembangunan infrastruktur, melainkan juga soal keadilan. Tanpa kepastian hukum atas hak properti, kembalinya warga pengungsi hanya akan menambah deretan cerita penderitaan.
Pada akhirnya, warga Aleppo yang kembali ke kampung halaman kini harus menerima kenyataan pahit. Alih-alih pulang ke rumah sendiri, mereka justru hidup sebagai penyewa di tanah yang seharusnya menjadi milik mereka sejak awal.
0 comments:
Post a Comment