Mahmoud Abbas semakin menjadi sosok yang kehilangan wibawa di mata rakyat Palestina. Dalam usianya yang hampir mencapai sembilan dekade, ia gagal memimpin Palestina keluar dari penjajahan Israel, gagal mengakhiri perpecahan internal, dan gagal memberikan harapan baru bagi generasi muda yang semakin kecewa. Kepemimpinannya yang panjang justru diselimuti stagnasi, di mana tidak ada perubahan besar yang dirasakan rakyat selain bertambahnya penderitaan dan semakin sempitnya ruang untuk bermimpi.
Palestina yang pernah menaruh harapan pada Abbas kini tampak bimbang dan kehilangan arah. Abbas gagal membangun kekuatan politik yang mampu menyatukan faksi-faksi utama Palestina dalam satu barisan perlawanan yang efektif. Perpecahan antara faksi terus berlanjut tanpa solusi, sementara perundingan damai dengan Israel tak lagi menjadi agenda yang realistis di tengah gelombang normalisasi negara-negara Arab dengan Tel Aviv. Dalam kondisi seperti ini, Abbas tampak seperti pemimpin yang ditinggalkan oleh zaman.
Di sisi lain, pengekangan yang dilakukan oleh Israel terhadap ruang gerak pemerintahan Palestina membuat kepemimpinan Abbas seperti berjalan dalam labirin yang penuh jebakan. Setiap upaya membangun institusi, infrastruktur, atau sistem politik yang lebih berdaulat selalu dihadang oleh intervensi Israel. Gerak administrasi Abbas dikontrol ketat, baik melalui blokade keuangan, pembatasan aktivitas keamanan, hingga campur tangan dalam wilayah administratif Palestina.
Situasi ini membuat Abbas tidak memiliki ruang yang cukup untuk membuktikan kapasitas inovatif dalam memimpin. Inisiatif ekonomi, pendidikan, dan teknologi yang pernah dicetuskan tidak dapat berkembang karena keterbatasan akses, termasuk pelarangan pembangunan di area tertentu, penolakan izin impor barang penting, serta pembatasan pergerakan pejabat dan teknisi Palestina. Setiap langkah maju selalu dijegal, membuat kebijakan-kebijakan Abbas menjadi mandul sebelum sempat dijalankan.
Namun, ketergantungan Abbas pada kerangka diplomasi dan janji internasional juga menjadi titik lemahnya. Ia tetap menaruh harapan besar pada jalan damai dan pengakuan internasional, sementara di lapangan, rakyat Palestina setiap hari menyaksikan penghancuran rumah, penyitaan tanah, dan kekerasan yang sistematis oleh aparat Israel. Ketimpangan antara diplomasi simbolik dan kenyataan di lapangan menciptakan jurang kepercayaan yang makin lebar antara pemimpin dan rakyatnya.
Sejak 2023, gelombang penghancuran rumah warga Palestina semakin meningkat, dengan ribuan bangunan dihancurkan di berbagai wilayah. Kehidupan ribuan keluarga menjadi tak menentu, dan tidak ada respons yang tegas atau perubahan kebijakan nyata dari pemerintahan Abbas. Ketidakmampuan memberikan perlindungan bagi rakyatnya sendiri memperkuat citra bahwa Palestina berjalan tanpa arah dan tanpa kekuatan politik yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Lebih dari satu dekade tanpa pemilu nasional membuat Abbas semakin kehilangan legitimasi. Tidak adanya mekanisme penyegaran kepemimpinan menyebabkan banyak kalangan muda Palestina merasa tidak memiliki tempat dalam sistem politik yang ada. Sebuah bangsa yang sedang berjuang seharusnya dipimpin oleh kekuatan yang dinamis, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: Palestina dipimpin oleh figur yang tidak lagi didengarkan oleh dunia, bahkan oleh bangsanya sendiri.
Rakyat Palestina tidak hanya butuh stabilitas, tapi juga arah. Mereka menginginkan pemimpin yang bisa merespons dinamika zaman, merangkul kekuatan-kekuatan baru, dan menghadirkan solusi konkret terhadap tantangan yang mereka hadapi setiap hari. Abbas, yang terlalu lama mempertahankan pendekatan tunggal lewat diplomasi, tampak tidak lagi relevan dengan kenyataan yang terus berubah cepat di lapangan.
Di tengah ketidakmampuan itu, muncul inisiatif-inisiatif lokal dari warga yang berupaya mandiri memenuhi kebutuhan dasar mereka. Namun sayangnya, pemerintah Palestina di bawah Abbas tak cukup sigap dalam mendukung atau mengintegrasikan gerakan akar rumput tersebut ke dalam program resmi. Padahal inilah momentum yang seharusnya bisa digunakan untuk menciptakan solidaritas baru dan mengembalikan kepercayaan rakyat pada negara.
Pembiaran terhadap kehancuran sosial dan ekonomi yang meluas di berbagai wilayah Palestina menjadi bukti bahwa krisis kepemimpinan bukan lagi soal gaya memerintah, tapi soal ketiadaan visi masa depan. Abbas tetap bertahan dalam kerangka lama, sementara realitas terus menuntut pendekatan baru. Penindasan Israel yang terus terjadi seharusnya dijawab dengan strategi yang lebih tegas, namun hal itu tidak kunjung terlihat.
Abbas juga gagal membangun sistem politik yang inklusif. Banyak tokoh muda yang potensial tidak diberi ruang, bahkan dikekang oleh struktur politik yang mengutamakan loyalitas daripada kompetensi. Dalam kondisi seperti itu, inovasi dan regenerasi menjadi hal yang mustahil. Palestina justru bergerak mundur dalam sistem pemerintahan, bukan ke depan.
Di saat banyak negara menjadikan transisi kepemimpinan sebagai peluang pembaruan, Palestina tetap tersandera dalam ketakutan akan kekosongan setelah Abbas. Ketakutan ini justru memperparah kondisi, karena kepemimpinan tanpa arah dan tanpa legitimasi hanya akan memperpanjang penderitaan rakyat. Palestina butuh lebih dari sekadar stabilitas; ia membutuhkan kepemimpinan baru dengan keberanian politik dan moral.
Israel sangat menyadari kelemahan ini. Karena itulah, tekanan terhadap Palestina tak pernah berhenti. Dengan menciptakan ketergantungan finansial dan membatasi akses terhadap wilayah, Israel menjadikan pemerintahan Palestina alat yang nyaris tak berdaya dalam mengatur bangsanya sendiri. Dan Abbas tampak menerima kondisi itu sebagai kenyataan yang tak bisa diubah, bukannya sebagai tantangan yang harus dilawan.
Selama kepemimpinan Abbas tidak bertransformasi dan tidak membuka ruang partisipasi luas bagi rakyat, Palestina akan tetap berjalan di tempat. Perjuangan untuk merdeka akan terus digantung dalam janji-janji internasional yang tidak kunjung ditepati. Dan rakyat Palestina, yang telah menunggu terlalu lama, semakin cemas masa depan mereka ditentukan oleh pemimpin yang tak lagi mendengar dan tak lagi bergerak.
Mahmoud Abbas berada di titik sejarah yang menentukan. Jika ia terus mempertahankan status quo, maka ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membiarkan impian bangsanya layu. Tetapi jika ia berani membuka jalan bagi generasi baru, sejarah mungkin akan memberinya tempat yang lebih terhormat. Waktu kian sempit, dan masa depan Palestina tidak bisa terus menunggu.
0 comments:
Post a Comment